PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERDASARKAN FILOSOFI
KONSTRUKTIVISME
Pendahuluan
Para ahli filsafat berabad-abad
berdebat tentang bagaiman manusia memperoleh kebenaran dan pengetahuan. Pengetahuan dan kebenaran tidak
lepas dari istilah epistemologi yaitu bagaimana kita dapat memperoleh
pengetahuan, kemudian berkembanglah berberapa aliran cara manusia memperoleh
pengetahuan dan kebenaran tersebut. Menurut Rachman (76:2006), sumber-sumber
pengetahuan tersebut dapat diperoleh melalui : (a) rasionalisme, berpandangan
bahwa semua pengetahuan bersumber pada akal. (b) empirisme, berpendirian bahwa
semua pengetahuan diperoleh lewat indera. (c) Realisme, adalah aliran yang
menyatakan bahwa objek-objek pengetahuan yang diketahui adalah nyata dalam
dirinya sendiri. (d) kritisisme, adalah aliran yang berusaha menjawab persoalan
pengetahuan, bertolak dari ruang dan waktu sebagai bentuk pengamatan.
Terlepas dari kenyataan mengenai sumber-sumber pengetahuan diatas,
apakah pengetahuan itu diperoleh orang
yang bersangkutan dari buku-buku atau hasil pemecahan masalah atau dari
pemberitahuan orang lain (misalnya guru). Jika pengetahuan itu dimaksudkan
untuk dipahami atau dimiliki secara sungguh-sungguh oleh seseorang, maka
pengetahuan itu haruslah secara aktif dikonstruksi sendiri oleh orang yang
bersangkuan di dalam pikirannya. Sebaliknya jika pengetahuan atau kemampuan itu
tidak secara aktif dikonstruksi sendiri oleh orang yang bersangkutan,
pengetahuan itu tidak akan bisa dikuasai secara sungguh-sungguh. Dan dalam hal
seperti itu, proses belajar yang sungguh-sungguh tidak terjadi dan hasilnya
belajar tanpa pemahaman.
Dengan demikian bicara tentang memperoleh
pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari proses struktur berpikir kognitif
subjek yang dikonstruksi secara berkelanjutan (terus menerus) dengan interaksi
lingkungan ikut mempengaruhi sehingga tercipta struktur kognitif yang kreatif .
Proses berpikir ini akhirnya membentuk pengetahuan yang dinamakan teori
konstruktivime. Untuk lebih jelas tentang konstruktivisme pada tulisan ini akan
dikupas konstruktivime dari sudut pandang filosofis dan psikologis, teori konstruksi pengetahuan, belajar matematika menurut paham konstruktivisme, pembelajaran konstruktivisme dalam
matematika, Implementasinya dalam pembelajaran matematika, evaluasi
pembelajaran matematika menurut konstruktivisme.
Menurut Sanjaya (111:2006) Filsafat
konstruktivisme pertamakali digagas oleh Mark Baldwin dan selanjutnya
dikembangkan oleh Jean Piaget. Aliran filsafat konstruktivisme berangkat dari
pemikiran epistemology Giambatista Vico. Vico mengungkapkan : “ Tuhan adalah penciptaan alam semesta dam
manusia adalah tuan dari ciptaannya”.
Menurut Sanjaya
(111:2006) Mengetahui menurut vico berati mengetahui bagaimana membuat sesuatu.
Artinya, seseorang dikatakan mengetahui manakalah ia dapat menjelaskan
unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu. Oleh karena itu menurut Vico,
pengetahuan itu tidak lepas dari orang (subjek) yang tahu. Pengetahuan
merupakan struktur konsep dari subjek yang mengamati. Selanjutnya, pandangan
filsafat konstruktivisme tentang hakekat pengetahuan memengaruhi konsep tentang
proses belajar, bahwa belajar bukanlah sekedar menghafal akan tetapi proses
mengonstruksi pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan bukanlah hasil ”
pemberian” dari orang lain seperti guru,
akan tetapi hasil dari proses pengonstruksi yang dilakukan setiap individu.
Pengetahuan hasil dari pemberitahuan tidak akan menjadi pengetahuan yang
bermakna.
2.
Latar Belakang Psikologis
Menurut Soerjabrata (1980:83), Piaget termasuk
salah satu ahli dalam psikologi perkembangan yang terpenting. Paham
filsafatnya, yang melatar belakangi theory psikologi perkembangan, sangat
dipengaruhi oleh positivisme dan evolusionisme.
Sesuai dengan filsafat yang
mendasari bahwa pengetahuan terbentuk karena peran aktif subjek, maka dipandang
dari sudut psikologis, Konstruktivisme berpijak pada aliran psikologi kognitif.
Menurut Sanjaya (113:2006) Aliran psikologi kognitif proses belajar terjadi
karena pemahaman individu akan lingkungan. Belajar bukanlah peristiwa mekanis
seperti keterkaitan stimulus dan respons semata, melainkan melibatkan proses
mental (emosi, minat, motivasi dan kemampuan atau pengalaman). Apa yang tampak,
pada dasarnya adalah wujud dari adanya dorongan yang berkembang dalam diri
seseorang. Sebagai peristiwa mental perilaku manusia tidak sematamata gerakan
fisik saja, akan tetapi yang lebih penting adalah adanya faktor pendorong yang
ada dibelakang gerakan fisik itu. Sebab manusia selamanya memiliki
kebutuhan yang melekat dalam dirinya,
dan kebutuhan itulah yang mendorong manusia untuk berprilaku. Hal ini sejalan
dengan Hergenhahn & Olson (322:2008) Teori piaget berbeda dengan konsep
pengetahuan S-R, seperti kita ketahui, piaget menyamakan pengetahuan dengan
struktur yang memberikan potensi untuk menghadapi lingkungan dengan cara-cara
tertentu. Struktur kognitif menyediakan
kerangka bagi pengalaman; yakni, mereka menentukan apa yang dapat direspon dan
bagaimana ia dapat merespon. Dalam hal ini , struktur kognitif diproyeksikan
kelingkungan fisik dan karena ia menciptakannya.Dengan cara ini lingkungan
dikonstruksi oleh struktur kognitif. Tetapi, juga bisa dikatakan bahwa
lingkungan memainkan peran besar dalam menciptakan struktur kognitif.
3.
Teori Konstruksi Pengetahuan
Menurut Sanjaya (118:2006) Konstruktivisme adalah proses
membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa
berdasarkan pengalaman. Dan pengetahuan itu terbentuk bukan hanya dari subjek
semata, akan tetapi juga dari kemampuan individu sebagai subjek yang menangkap
setiap objek yang diamatinya. Jadi dari maksudnya uraian diatas pengetahuan itu memang berasal dari luar akan
tetapi dikonstruksi oleh dan dari dalam diri seseorang. Oleh sebab itu pengetahuan
terbentuk oleh dua faktor penting, yaitu objek yang menjadi bahan pengamatan
dan kemampuan subjek untuk memahami atau memaknai objek tersebut. Kedua faktor
tersebut sama pentingnya. Dengan demikian pengetahuan itu tidak bersifat statis
akan tetapi bersifat dinamis, tergantung individu yang melihat dan
mengkonstruksinya. Hakikat pengetahuan menurut piaget :
a. Pengetahuan bukanlah gambarab
dunia kenyataan belaka, akan tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan
melalui kegiatan subjek
b. Subjek membentuk skema
kognitif, kategori, konsep dan struktur yang perlu untuk pengetahuan.
c. Pengetahuan dibentuk dalam
struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi, membentuk pengetahuan bila
konsepsi itu berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang.
Kunci
utama teori Piaget yang harus diketahui guru matematika yaitu bahwasanya
perkembangan kognitif seorang siswa bergantung kepada seberapa jauh si siswa
itu dapat memanipulasi dan aktif berinteraksi dengan lingkungannya, dalam arti
bagaimana ia mengaitkan antara pengetahuan yang telah dimiliki dengan
pengalaman barunya. Menurut Piaget, ada tiga aspek pada perkembangan kognitif
seseorang, yaitu: struktur, isi, dan fungsi kognitif.
Struktur
kognitif, skema atau skemata (schema)
menurut Piaget, merupakan organisasi mental yang terbentuk pada saat seseorang
berinteraksi dengan lingkungannya. Isi kognitif merupakan pola tingkah laku
seseorang yang tercermin pada saat ia merespon berbagai masalah, sedangkan
fungsi kognitif merupakan cara yang digunakan seseorang untuk mengembangkan
tingkat intelektualnya, yang terdiri atas organisasi dan adaptasi. Dua proses
yang termasuk adaptasi adalah asimilasi dan akomodasi.
Selanjutnya
menurut Bodner (dalam dahar, 152:2011) Teori konstruktivis dibagi dua.
Konstruktivis ala piaget dan konstruktivis baru (dikembangkan oleh Vygotsky),
selanjutnya Menurut Dahar (152:2011), Peletak
teori konstruktivisme yang pertama ialah piaget, walaupun perspektif
konstruktivisme sudah terungkap dalam tulisan Glambattista Vico pada tahun
1970. Melalui perspektif Piaget, pengetahuan diperoleh menurut proses konstruksi selama hidup
melalui suatu proses ekuilibrasi antara skema pengetahuan dan pengalaman baru.
Antara perspektif Piaget dan perspektif konstruktivis baru terdapat perbedaan.
Piaget lebih memfokuskan konstruksi pengetahuan personal melalui interaksi
individual dengan lingkungan sebagaimana telah dikemukankan diatas, sedangkan
perspektif baru mengikutsertakan juga proses-proses sosial dalam konstruksi
pengetahuan. Dengan kata lain konstruktivis ala vygotsky dalam konstruksi
pengetahuan terjadi interaksi antara aspek internal dan eksternal yang
penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar. Menurut Dahar (152:2011)
Vygotsky mengemukakan bahwa belajar itu harus berlangsung dalam kondisi sosial,
terlihat jelas peran bahasa dan tindakan dalam mengkonstruksi pengetahuan. Dan
akhir-akhir ini mendapat perhatian para peneliti konstrutif, mereka inilah
dikenal dengan nama konstruktivis social.
Berdasarkan
uraian diatas dalam mengkonstruksi pengetahuan matematika perlu menggunakan
pendekatan konstruktivisme. Menurut Steffe dan Kieren, 1995:723 dalam suherman
(71:2003) Beberapa prinsip pendekatan konstruktivisme diantaranya observasi dan
mendengar aktivitas dari pembicaraan matematika siswa adalah sumber yang kuat
dan petunjuk untuk mengajar, untuk cara-cara dimana pertumbuhan pengetahuan
siswa dapat dievaluasi. Lebih lanjut dikatakan bahwa konstruktivisme aktivitas
matematika mungkin diwujudkan melalui tantangan masalah, kerja dalam kelompok
kecil, dan diskusi kelas. Beberapa cirri itulah yang akan mendasari
pembelajaran matematika dengan pendekatan konstruktivisme.
4. Belajar matematika
menurut Paham konstruktivisme
Konstruktivisme merupakan suatu
teori atau faham yang menyatakan bahwa setiap pengetahuan atau kemampuan hanya
bisa dikuasai (dipahami secara sungguh-sungguh) oleh seseorang apabila orang
itu secara aktif mengkonstruksi (membentuk) pengetahuan atau kemampuan itu
dalam pikirannya. Terlepas dari kenyataan mengenai asal mula pengetahuan atau
kemampuan itu, apakah pengetahuan atau kemampuan itu dicari oleh orang yang
bersangkutan dari buku-buku atau hasil pemecahan masalah atau dari
pemberitahuan orang lain (misalnya guru), jika pengetahuan atau kemampuan itu
dimaksudkan untuk dipahami atau dimiliki secara sungguh-sungguh oleh seseorang,
sehingga pengetahuan atau kemampuan itu pada akhirnya haruslah secara aktif
dikonstruksi sendiri oleh orang yang bersangkuan di dalam pikirannya. Jika
pengetahuan atau kemampuan itu tidak secara aktif dikonstruksi sendiri oleh
orang yang bersangkutan, pengetahuan atau kemampuan itu tidak akan bisa
dikuasai secara sungguh-sungguh. Dalam hal seperti itu, proses belajar yang
sungguh-sungguh tidak terjadi dan hasilnya belajar tanpa pemahaman.
Konsep pembelajaran konstruktivisme
didasarkan pada kerja akademik para ahli dan peneliti yang peduli dengan konstruktivisme. Para ahli konstrukivisme
mengatakan bahwa ketika siswa mencoba menyelesaikan tugas-tugas di kelas, maka
pengetahuan matematika dikonstruksi secara aktif (Wood & Coob dalam
Suherman dkk ). Para ahli konstruktivis yang lain mengetakan bahwa dari
perspektofnya konstruktivis, belajar matematika merupakan proses dimana siswa secara
aktif mengkonstruksi pengetahuan matematika.
Para ahli konsrtuktivis setuju bahwa
belajar matematika melibatkan manipulasi aktif dari pemaknaan bukan hanya
bilangan dan rumus-rumus saja. Mereka menolak paham bahwa matematika dipelajari
dalam satu koleksi yang berpola linier. Setiap paham dari pembelajaran
melibatkan suatu proses penelitian terhadap makna dan penyampaian keterampilan
hapalan dengan cara yang tidak ada jaminan bahwa siswa akan menggunakan
keterampilan intelegennya dalam setting
matematika.
Lebih jauh lagi para ahli
konstruktivis merekomendasikan untuk menyediakan lingkungan belajar di mana
siswa dapat menccapai konsep dasar, keterampilana algoritma, proses heuristic, dan kebeiasaan bekerja sama
dan berefleksi. Dalam kaitanya dengan belajar, Cobb dkk, dalam Suherman dkk
(2001) meguraikan bahwa belajar dipandang sebagai proses aktif dan konstruktif
di mana siswa mencoba untuk menyelesaikan masalah yang muncul sebagaimana
mereka berpartisipasi secara efektif dalam latihan matematika di kelas.
Confrey, 1990, h.111 dalam Suherman
dkk (72:2003), yang juga banyak bicara dalam konstruktivisme menawarkan suatu powerful contruction dalam matematika.
Dalam mengkonstruksi pengertian matematika melalui pengalaman, ia
mengidentifikasi 10 karakteristik dari powerful
contruction berpikir siswa. Lebih jauh ia mengatakan bahwa powerful cuntruction ditandai oleh:
1.
Sebuah
struktur dengan ukuran kekonsistenan internal
2.
Suatu
keterpaduan anta bermacam-macam konsep
3.
Suatu
kekonvergenan di antara aneka bentuk dan konteks
4.
Kemampuan
untuk merefleksi dan menjelaskan
5.
Sebuah
kesinambungan sejarah
6.
Terikat
kepada bermacam-macam simbol
7.
Suatu
yang cocok dengan pendapat experts (ahli)
8.
Suatu
yang potensial untuk bertindak sebagai alat untuk konstruksi lebih lanjut
9.
Sebagai
petunjuk untuk tindakan berikutnya
10.
Suatu
kemampuan untuk menjustifikasi dan mempertahankan
5.
Pembelajaran Konstruktivisme Dalam
Matematika
Beberapa ahli konstruktivisme telah
menguraikan indikator belajar mengajar mengenai konstruktivisme. Confrey dalam Suherman
dkk (2003) menyatakan:
... sebagai
seorang konstruktivis ketika saya mengajarkan matematika, saya tidak
mengajarkan siswa tentang struktur matematika yang objeknya ada di dunia ini.
Saya mengajar mereka bagaimana mengembangkan kognisi mereka, bagaimana melihat
dunia melalui sekumpulan lensa kuantitatif yang saya percaya akan menyediakan
suatu cara yang powerfull untuk memahami dunia, bagaimana merefleksikan
lensa-lensa itu untuk menciptakan lensa-lensa yang lebih kuat dan bagaimana
mengapresiasi peranan dari lensa dalam memaikan perkembangan kultur mereka.
Saya mencapai untuk mengajarkan mereka untuk mengembangkan satu alat
intelektual yaitu matematika”.
Hal ini mencerminkan bahwa
matematika hanyalah sebagai alat untuk berpikir, fokus utama belajar matematika
adalah memberdayakan suswa untuk berpikir mengkonstruksi pengetahuan matematika
yang pernah ditemukan oleh ahli-ahli sebelumnya.
6.
Implementasinya Dalam Pembelajaran
Matematika
Dari sudut pandang konstruktiis,
Koehler & Grouws dalam Suherman dkk
(2003) menyatakan bahwa pembelajaran telah dipandang sebagai suatu
kontimun antara negoisasi dan imposition pada ujung-ujungnya. Lebih lanjut
lagi, Cobb & Steffie dalam Suherman (2001) menambahkan bahwa “... dalam
pandangan konstruktivise guru harus secara terus menerus menyadarkan bahwa
untuk mencoba melihat keduanya, aksi siswa dengan dirinya dari sudut pandang
siswa. Seorang yang memandang bahwa belajar adalah suatu transmisi, maka proses
mengetahui akan mengikuti model imposition (pembebanan). Sedangkan yang
berpandangan bahwa mengajar adalah suatu proses yang memfasilitasi suatu
konstruksi, maka ia akan mengikuti model negoisasi. Aktivitas guru di kelas
dipengaruhi oleh paham mereka tentang pembelajaran.
Perbedaan individu di kelas
berimplikasi bahwa guru disyaratkan untuk mempertimbangkan bagaimana menerapkan
pembelajaran matematika agar dapat melayani secara cukup perbedaan-perbedaan
individu siswa. Berkenaan dengan perbedaan individu, Board of Studies mennyatakan bahwa siswa akan mencapai prestasi belajar
dalam kecepatan berbeda dan secara kualitatif dalam cara yang berbedea-beda.
Lovitt & Clarke dalam Suherman dkk (2003) menambahkan bahwa kualitas
pembelajaran ditandai seberapa lus dalam lingkungan belajar
1.
Mulai
dari mana siswa ini berada
2.
Mengenai
bahwa siswa belajar dengan kecepatan berbeda dan cara yang berbeda
3.
Melibatkan
sisa secara fisik dalam proses belajar
4.
Meminta
siswa untuk memvisualkan yang imajiner
Dengan demikian ada suatu perbedaan
yang sangat berarti dalam pembelajaran matematika dalam paradigma
konstruktivisme dan dengan pendekatan tradisional. Di dalam konstruktivisme
peran guru bukan pemberi jawaban akhir atas pertanyaan siswa, melainkan
mengarahkan mereka untuk membentuk (mengkonstruksi) pengetahuan matematika
sehingga diperoleh struktur matematika.
Implikasi dari perbedaan-perbedaan
di atas menjadikan posisi guru dalam pembelajaran matematika untuk bernegoisasi
dengan siswa bukan memberikan jawaban akhir yang telah jadi. Negosisasi yang
dimaksudkan disini adalah berupa pengajuan pertanyaan-pertanyaan kembali atau
pernyataan-pernyataan yang menantang siswa untuk berpikir lebih lanjut yang
dapat mendoron mereka sehingga penguasaan konsepnya semakin kuat.
Dalam belajar seseorang harus
mengkonstruksi sendiri pengetahuannya”, maka guru hendaknya mengusahakan agar
murid aktif berpartisipasi dalam membangun atau mengkonstruksi pengetahuannya. Ada dua pertanyaan yang perlu
dicermati guru, yaitu :
1.
Pengalaman-pengalaman
apa yang harus disediakan bagi para siswa supaya dapat memperlancar proses
belajar
2.
Bagaimana
pembelajar dapat mengungkapkan atau menyajikan apa yang telah mereka ketahui
untuk memberi arti pada pengalaman-pengalaman itu.
7.
Evaluasi Pembelajaran Matematika
Menurut Konstruktivisme
Munurut Webb dalam Suherman dkk (2003)
evaluasi dalam pendidikan adalah suatu investigasi sistematis tentang nilai
atau merit tentang suatu tujuan.
Termasuk di dalam evaluasi adalah kumpulan bukti-bukti secara sistematis untuk
membantu keputusan tentang siswa belajar, pengembangan materi, dan program.
Sedangkan Assesmen menurut Wood dalam Suherman dkk (2003) dianggap sebagai
penyedia suatu pertimbangan menyeluruh dari suatu fungsi individu di dalam
melukiskan rasa paling luas dalam berbagai bukti baik kualitatif maupun
kuantitatif dan karena sampai kepada pengujian keterampilan kognitif dengan
teknik paper-pencil untuk sejumlah
orang. Webb & Briars dalam Suherman dkk (2001) menambahkan bahwa assesmen
dalam matematika adalah proses penentuan apakah siswa tau. Merupakan suatu
bagian dari aktivitas pengajaran matematika, yaitu pengecekan apakan siswa
memahami, mendapatkan umpan balik dari siswa, kemudian mengguankan informasi
ini untuk membimbing pengalaman belajarnya.
Meskipun ada perbedaan pengertian
evaluasi dan assesmen yang dimaksudkan di sini adalah cara guru mengases
(menilai) prestasi siswa belajar matematika. Menurut Jacobsen dkk dalam
Seherman dkk (2003), dalam memberikan assesmen pengetahuan matematika siswa
mestinya diperoleh data kemampuan siswa dalam matematika dan harus memasukkan
tentang pengetahuan siswa pada konsep matematika, prosedur matematika, dan
kemampuan problem solving, reasoning, dan komunikasi.
Evaluasi dalam pembelajaran
matematika menggunakan pendekatan konstruktivisme terjadi sepanjang proses
pembelajaran berlangsung (on going
assessment). Dari awal sampai akhir guru memantau perkembangan siswa,
pemahaman siswa terhadepat suatu konsep matematika, ikut dan mengawasi proses
konstruksi pengetahuan (matematika yang dibuat oleh siswa.
Daftar
Pustaka :
Dahar, R Wilis. 2011. Teori-teori Belajar & Pembelajaran. Jakarta : Erlangga.
Hergenhahn, B.R & Olson, H. Matthew. 2008. Theories of learning. Jakarta : Kencana
Predana Media Group
Rachman, dkk. 2006. Filsafat Ilmu. Semarang :UPT MKU Universitas Negeri Semarang.
Sanjaya, Wina. 2006. Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi.
Jakarta :Kencana Predana Media Group.
Shadiq, Fadjar & Mustajab, N Amini. 2011. Penerapan Teori Belajar dalam Pembelajaran
Matematika di SD. Yogyakarta : Kepmendiknas
& P4TK matematika.
Soerjabrata, Soemadi. 1980. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Suherman, Erman.dkk. 2003. Strategi
Pembelajaran Matematika Kontemporer. Universitas Pendidikan Indonesia :
Bandung.
alhamdulilah tugas ni selesai juga dibuat walau banyak kekurangan
BalasHapus