Psikologi
Perkembangan Kognitif Piaget
Kunci utama teori
Piaget yang harus diketahui guru matematika yaitu bahwasanya perkembangan
kognitif seorang siswa bergantung kepada seberapa jauh si siswa itu dapat
memanipulasi dan aktif berinteraksi dengan lingkungannya, dalam arti bagaimana
ia mengaitkan antara pengetahuan yang telah dimiliki dengan pengalaman barunya.
Menurut Piaget, ada tiga aspek pad perkembangan kognitif seseorang, yaitu:
struktur, isi, dan fungsi kognitif.
Struktur kognitif,
skema atau skemata (schema) menurut Piaget, merupakan organisasi mental
yang terbentuk pada saat seseorang berinteraksi dengan lingkungannya. Isi
kognitif merupakan pola tingkah laku seseorang yang tercermin pada saat ia
merespon berbagai masalah, sedangkan fungsi kognitif merupakan cara yang
digunakan seseorang untuk mengembangkan tingkat intelektualnya, yang terdiri
atas organisasi dan adaptasi. Dua proses yang termasuk adaptasi adalah
asimilasi dan akomodasi. Pembahasan lebih rinci tentang hal ini akan dimulai dari
empat tahap perkembangan kognitif berikut ini.
Berdasarkan
penelitian yang dilakukan, Piaget membagi perkembangan kognitif seseorang dari
bayi sampai dewasa atas tahap seperti ditunjukkan tabel berikut.
No
|
Umur (tahun)
|
Tahap
|
1
|
0 – 2
|
Sensori Motor
|
2
|
2 – 7
|
Pra-operasional
|
3
|
7 – 11
|
Operasional Konkret
|
4
|
11 +
|
Operasional Formal
|
Pada tahap sensori
motor (0-2 tahun) seorang anak akan belajar untuk menggunakan dan mengatur
kegiatan fisik dan mental menjadi rangkaian perbuatan yang bermakna. Pada tahap
ini, pemahaman anak sangat bergantung pada kegiatan (gerakan) tubuh dan
alat-alat indera mereka. Contohnya ketika seorang anak menirukan suara suatu
benda maka hal itu menandakan bahwa yang ia maksud adalah benda tersebut.
Pada tahap pra-operasional
(2-7 tahun), seorang anak masih sangat dipengaruhi oleh hal-hal khusus yang
didapat dari pengalaman menggunakan indera, sehingga ia belum mampu untuk
melihat hubungan-hubungan dan menyimpulkan sesuatu secara konsisten. Pada tahap
ini, anak masih mengalami kesulitan dalam melakukan pembalikan pemikiran (reversing
thought) serta masih mengalami kesulitan bernalar secara induktif maupun
deduktif, karena pemikirannya masih dalam tahap transduktif (transductive),
yaitu suatu proses penarikan kesimpulan dari hal khusus yang satu ke hal khusus
yang lain. Jika ia melihat suatu benda yang asalnya sama tapi dalam bentuk yang
berbeda, maka si anak akan mengatakan bahwa benda tersebut adalah dua hal yang
beda pula. Sebagai contoh, jika anak diberikan tali yang pada awalnya
dibentangkan dari dua sisi yang berbeda, kemudian tali itu digenggam dan
diletakkan begitu saja di atas meja, maka mereka akan mengatakan bahwa itu
adalah dua tali yang berbeda.
Pada tahap operasional
konkret (7-11 tahun), umumnya anak sedang menempuh pendidikan di sekolah
dasar. Di tahap ini, seorang anak dapat membuat kesimpulan dari suatu situasi
nyata atau dengan menggunakan benda konkret, dan mampu mempertimbangkan dua
aspek dari suatu situasi nyata secara bersama-sama (misalnya, antara bentuk dan
ukuran). Contohnya adalah konsep kekekalan luas dimana luas suatu daerah akan
kekal (tetap) jika daerah tersebut dibagi menjadi beberapa bagian.
Pada tahap operasional
formal (lebih dari 11 tahun), kegiatan kognitif seseorang tidak mesti
menggunakan benda nyata. Tahap ini merupakan tahapan terakhir dalam
perkembangan kognitif. Dengan kata lain, mereka sudah mampu melakukan
abstraksi, dalam arti mampu menentukan sifat atau atribut khusus sesuatu tanpa
menggunakan benda nyata. Pada permulaan tahap ini, kemampuan bernalar secara
abstrak mulai meningkat, sehingga seseorang mulai mampu untuk berpikir secara
deduktif. Contohnya, mereka sudah mulai mampu untuk menggunakan variabel.
Tahapan
perkembangan yang dicantumkan oleh Piaget di atas dapat dijadikan salah satu
rujukan guru dalam merencanakan pembelajaran. Namun kondisi para siswa
Indonesia kemungkinan agak berbeda dengan siswa yang diteliti Piaget. Di
samping itu, ada juga pendapat yang menyatakan bahwa bagi seseorang yang telah
berada pada tahap operasional formal sekalipun, untuk hal-hal yang baru, mereka
masih membutuhkan benda nyata ataupun gambar/diagram. Karenanya, faktor ‘nyata’
atau ‘real’ pada proses pembelajaran ini akan sangat menentukan keberhasilan
ataupunkegagalan pembelajaran di kelas
2. Proses Perkembangan Kognitif
Proses
perkembangan kognitif seseorang menurut Piaget harus melalui suatu proses yang
disebut dengan adaptasi dan organisasi seperti ditunjukkan Piaget melalui
diagram di bawah ini.
Diagram tersebut menunjukkan bahwa tanpa adanya pengalaman baru, struktur kognitif para siswa akan berada dalam keadaan equilibrium (tenang dan stabil). Jadi, perkembangan kognitif seseorang ditentukan oleh seberapa besar interaksinya dengan lingkungan (pengalaman baru) yang harus dikaitkan atau dihubungkan dengan struktur kognitif (schema) mereka, melalui proses organisasi dan adaptasi. Adaptasi sendiri terdiri atas dua proses yang dapat terjadi bersama-sama, yaitu: (1) asimilasi, suatu proses dimana suatu informasi atau pengalaman baru disesuaikan dengan kerangka kognitif yang sudah ada di benak siswa; dan (2) akomodasi, yaitu suatu proses perubahan atau pengembangan kerangka kognitif yang sudah ada di benak siswa agar sesuai dengan pengalaman yang baru dialami.
Diagram tersebut menunjukkan bahwa tanpa adanya pengalaman baru, struktur kognitif para siswa akan berada dalam keadaan equilibrium (tenang dan stabil). Jadi, perkembangan kognitif seseorang ditentukan oleh seberapa besar interaksinya dengan lingkungan (pengalaman baru) yang harus dikaitkan atau dihubungkan dengan struktur kognitif (schema) mereka, melalui proses organisasi dan adaptasi. Adaptasi sendiri terdiri atas dua proses yang dapat terjadi bersama-sama, yaitu: (1) asimilasi, suatu proses dimana suatu informasi atau pengalaman baru disesuaikan dengan kerangka kognitif yang sudah ada di benak siswa; dan (2) akomodasi, yaitu suatu proses perubahan atau pengembangan kerangka kognitif yang sudah ada di benak siswa agar sesuai dengan pengalaman yang baru dialami.
Bodner
(1986:873) menyatakan bahwa istilah asimilasi dan akomodasi hanya dapat
dipahami melalui konsep Piaget tentang struktur kognitif (schema). Jika
fungsi kognitif seperti adaptasi dan organisasi tetap konstan selama proses
perkembangan kognitif maka struktur kognitifnya akan berubah baik secara
kualitas maupun kuantitas sesuai perkembangan waktu dan pengalaman. Proses
asimilasi dan akomodasi ini terjadi sejak bayi. Bodner (1986:873) menunjukkan
pendapat Von Glasersfeld bahwa seorang bayi yang sedang lapar lalu pipinya
disentuh dengan jari maka ia akan berusaha untuk menghisap jari itu. Von
Glasersfeld menyatakakan bahwa bayi itu menganggap (mengasimilasi) bahwa jari
itu adalah puting susu ibunya. Karena itu, Bodner (1986:873) menyatakan: “Assimilation
involves applying a preexisting schema or mental structure to interpret sensor
data.” Artinya, proses asimilasi melibatkan penggunaan struktur, skemata,
atau skema untuk menginterpretasi. Karena itu, Bodner (1986:873) juga
menyatakan: “Piaget argued that knowledge is constructed as the learner
strives to organize his or her experiences in terms of preexisting mental
structure or schema.” Artinya, Piaget berargumentasi bahwa pengetahuan
terbangun disaat siswa berusaha untuk mengorganisasikan pengalamannya sesuai
dengan struktur kognitif yang dimilikinya.
3. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan
Kognitif
Piaget menjelaskan bahwa perkembangan kognitif seseorang
dipengaruhi oleh empat hal berikut.
1.
Kematangan
(maturation) otak dan sistem syarafnya. Kematangan otak dan sistem
syaraf sangat penting dimiliki setiap siswa. Siswa yang memiliki ketidak
sempurnaan yang berkait dengan kematangan ini, sedikit banyak akan mengurangi
kemampuan dan perkembangan kognitifnya. Karena itu, penting sekali bagi orang
tua untuk membesarkan putera-puterinya dengan makanan bergizi dan kasih sayang
yang cukup, sehingga putera-puteri tersebut akan memiliki kematangan otak dan
sistem syaraf yang sempurna.
2.
Pengalaman
(experience) yang terdiri atas:
a. Pengalaman fisik (physical
experience), yaitu interaksi manusia dengan lingkungannya. Contohnya adalah
interaksi seorang siswa dengan kumpulan batu yang ia tata.
b. Pengalaman logika-matematis (logico-mathematical
experience), yaitu kegiatan-kegiatan pikiran yang dilakukan manusia.
Contohnya, siswa menata kumpulan batu sambil belajar membilang. Dapat juga
ketika siswa mulai berpikir bahwa suatu kumpulan lebih banyak dari kumpulan
yang lain.
Bayangkan
jika ada anak yang tidak diberi kesempatan untuk berinteraksi dengan
lingkungannya. Apa yang akan terjadi
dengan perkembangan kognitif si anak tersebut? Jelaslah bahwa berinteraksi seorang anak dengan
lingkungannya akan memperngaruhi perkembangan kognitif mereka.
3.
Transmisi
sosial (social transmission), yaitu interaksi dan kerjasama yang
dilakukan oleh manusia dengan orang lain. Mengapa seorang anak Indonesia yang
dilahirkan di lingkungan yang selalu berbahasa Inggris dan selalu berinteraksi
dengan bahasa Inggris akan menyebabkan ia mahir berbahasa Inggris? Jawabannya
adalah adanya faktor transmisi sosial tersebut. Seorang anak yang dilahirkan di
suatu keluarga yang lebih mengutamakan penalaran (reasoning) akan
menghasilkan anak-anak yang lebih mengutamakan kemampuan penalaran ketika
memecahkan masalah.
4.
Penyeimbangan
(equilibration), suatu proses, sebagai akibat ditemuinya pengalaman
(informasi) baru, seperti ditunjukkan pada diagram Piaget di atas. Seorang anak
yang sejatinya berbakat untuk mempelajari matematika, namun karena ia tidak
mendapat tantangan yang cukup, maka perkembangan kognitifnya akan terhambat.
Sumber :
Shadiq,
Fadjar & Mustajab, N Amini. 2011. Penerapan
Teori Belajar dalam Pembelajaran Matematika di SD. Yogyakarta : Kepmendiknas & P4TK matematika.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Tinggal Komentarnya